Tentang Perkawinan

Sudah menjadi kodrat bahwa manusia sejak dilahirkan ke dunia selalu mempunyai kecenderungan untuk hidup bersama dengan manusia lainnya dalam suatu pergaulan hidup. Hidup bersama antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang telah memenuhi persyaratan inilah yang disebut dengan perkawinan.

Perkawinan merupakan tali ikatan yang melahirkan keluarga sebagai salah satu unsur dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, yang diatur oleh aturan-aturan hukum baik yang tertulis (hukum negara) maupun yang tidak tertulis (hukum adat).

Sekarang ini hukum negara yang mengatur mengenai masalah perkawinan adalah Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Di lain pihak hukum adat yang mengatur mengenai perkawinan dari dulu hingga sekarang tidak berubah, yaitu hukum adat yang telah ada sejak jaman nenek moyang hingga sekarang ini yang merupakan hukum yang tidak tertulis. Namun di sisi lain, masih terdapat juga Hukum Perdata yang pula memberi warna dan ikatan tentang perkawinan dan hal-hal keperdataan lain yang terkait didalamnya.

Menurut pasal 1 UU No. 1/1974 tentang Perkawinan, yang dimaksud perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Sedangkan di dalam ketentuan pasal-pasal KUHPerdata, tidak memberikan pengertian perkawinan itu. Tetapi menyatakan bahwa perkawinan adalah suatu ‘perikatan’ (verbindtenis). Dalam hal ini marilah kita lihat kemabali dalam pada pada 26 KUH Perdata. Jadi Kitab Undang-undang Hukum Perdata memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata. Hal ini berarti bahwa undang-undang hanya mengakui perkawinan perdata sebagai perkawinan yang sah, berarti perkawinan yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, sedang syarat-syarat serta peraturan agama tidak diperhatikan atau dikesampingkan.

Selain itu Hakikat Perkawinan menurut UU No. 1/1974 pasal 1, disebutkan hakikat perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri. Jadi hakikat perkawinan bukan sekedar ikatan formal belaka, tetapi juga ikatan batin antara pasangan yang sudah resmi sebagai suami dan isteri. Sedangkan menurut KUHPerdata hakikat perkawinan adalah merupakan hubungan hukum antara subyek-subyek yang mengikatkan diri dalam perkawinan. Hubungan tersebut didasarkan pada persetujuan di antara mereka dan dengan adanya persetujuan tersebut mereka menjadi terikat.

Asas Perkawinan yang termuat dalam UU No. 1/1974 pasal 3 adalah asas monogami relatif, artinya boleh sepanjang hukum dan agamanya mengizinkan. Sedangkan KUHPerdata menganut asas monogami mutlak karena ini berdasarkan kepada doktrin Kristen (Gereja), dengan Syarat Sahnya Perkawinan menurut pasal 2 UU No. 1/1974 bahwa perkawinan adalah sah jika dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Setiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pada pasal 6 s/d 12 UU No. 1/1974 syarat-syarat perkawinan, yaitu adanya persetujuan kedua calon mempelai, ada izin orang tua atau wali bagi calon yang belum berusia 21 tahun, usia calon pria berumur 19 tahun dan perempuan berumur 16 tahun, tidak ada hubungan darah yang tidak boleh kawin, tidak ada ikatan perkawinan dengan pihak lain, tidak ada larangan kawin menurut agama dan kepercayaannya untuk ketiga kalinya, tidak dalam waktu tunggu bagi wanita yang janda. Sedangkan syarat perkawinan menurut KUHPerdata adalah syarat material absolut yaitu asas monogami, persetujuan kedua calon mempelai, usia pria 18 tahun dan wanita 15 tahun, bagi wanita yang pernah kawin harus 300 hari setelah perkawinan yang terdahulu dibubarkan. Sedang syarat material relatif, yaitu larangan untuk kawin dengan orang yang sangat dekat di dalam kekeluargaan sedarah atau karena perkawinan, larangan untuk kawin dengan orang yang pernah melakukan zina, larangan memperbaharui perkawinan setelah adanya perceraian jika belum lewat waktu 1 tahun.

Dalam pasal 1 UU No. 1/1974, disebutkan bahwa tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan dalam KUHPerdata tidak ada satu pasalpun yang secara jelas-jelas mencantumkan mengenai tujuan perkawinan itu. Kitab Undang-undang Hukum Perdata memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata.

Hal-hal inilah yang perlu kita cermati melalui suatu pengkajian untuk menemukan esensi pemberlakuan hukum perkawinan bagi warga Negara.

Hukum Kekeluargaan (familie Recht) adalah peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum yang timbul dari hubungan kekeluargaan, yaitu ;
I. Perkawinan/huwelijk.
II. Anak/kind
III. Kekuasaaan Orangtua/ Ouderlijk macht.
IV. Dewasa dan batas umur/ Minderjaringheid.
V. Perwalian /voogdij.
VI. Pengampuan/ Curatele.
VII. Ketidak Hadiran /Afwezingheid.
I. PERKAWINAN / Huwelijk.
1. Pengertian Perkawinan.
Dalam KUH.Perdata /B.W. kita tidak menjumpai sebuah pasal pun yang menyebut tentang pengertian dantujuan perkawinan. Pasal 26 KUH.Perata /B.W. hanya menyebut bahwa KUH.Perdata/B.W. memandang perkawinan dari sudut hubungannya dengan Hukum Perdata saja. Hal ini berarti bahwa peraturan-peraturan menurut hukum agama tidaklah penting selama tidak diatur dalam Hukum Perdata.
Dengan demkian yang ditentukan oleh Hukum Perdata dengan perkawinan adalah persekutuan hidup bersama menurut Hukum Perdata antara seorang pria denngan seorang wanita untuk waktu yang kekal. Yang dimaksud dengan perkawinan yang dilangsungkan oleh pegawai Kantor Catatan Sipil. Perkawinan menurut agama tidak dilarang tetapi pelaksanaanya hendaklah dilakukan sesudah dilakukan perkawinan menurut Hukum Perdata.Pasal 81 KUH.Perdata menegaskan bahwa tidak boleh melangsungkan upacara keagamaan sebelum perkawinan menurut pacara kantor Catatan Sipil selesai.
Oleh karean KUH.Perdata tidak memberikan definisi tentang perkawinan, dibawah ini dikedepankan definisi perkawinan menurut pendapat para sarjana.
Perkawinan adalah suatu hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama dengan kekal yang diakui oleh negara.

Dari definisi diatas kita melihat bahwa perkawinan itu hanya ditinjau dari segi hubungan perdatanya saja,terlepas darisegi tujuannya,agama dan sebagainnya.
2. Syarat- syarat Perkawinan.
Syarat-syarat perkawinan terdiri dari :
A. Syarat Materil
B. Syarat Formil
SYARAT MATERIL.
Syarat Materil adalah syarat yang dihubungkan dengan keadaan pribadi orang yang hendak melangsungkan perkawinan, yaitu :
Kedua belah pihak masing-masing harus tidak dalam keadaan kawin sehingga tidak terjadi bigami (pasal 27 KUH.Perdata).
Persetujuan sukarela antara kedua belah pihak (pasal 28 KUH.Perdata).
Memenuhi ketentuan umur minimum yakni pria 18 tahun dan wanita 15 tahun (pasal 29 KUH.Perdata).
Bagi wanita yang putus perkawinan harus telah melewati 300 hari sejak putus perkawinan sebelumnya(pasal 34 KUH.Perdata).
Izin atau persetujuan pihak ketuiga bagi :
à Orang yang belum dewasa (minderjaring)dri orang tua atau walinya (pasal 35 – 37 KUH.Perdata)
à Orang yang berada dibawah pengampuan (curandus) (pasal 38 dan 151 KUH.Perdata).
Perkawinan tidak dilakukan dengan orang-orang yang dilarang oleh undang-undang yaitu :
a. Larangan perkawinan antara orang-orang yang ada hubungan darah atau keluarga.
à Antara keluarga dalam satu garis lurus keatas dan kebawah dan antara keluarga dalam garis lurus kesamping,misalnya saudara laki-laki dengan saudara perempuan baik sah maupun tidaksah (pasal 30 KUH.Perdata)
à Antara ipar laki-laki dengan ipar peremuan,antara paman dan bibi dengan kemenakan (paal 31 KUH.perdata).
b. Larangan perkawinan antara mereka yang karena putusan hakim terbukti melakukan overspel (pasal 32 KUH.Perata)
c. Larangan kawin karena perkawinan yang dahulu atau sebelumnya,selama belum lewat waktu satu tahun (pasal 33 KUH.Perdata).
Syarat Mateil dalam nomor 1,2,3,4,dan 5 disebut syarat Material Mutlak,yaitu syarat yang apabila tidak dipenuhi maka orang tidak berwenang melakukan perkawinan atau perkawinan tidak dapat terjadi atau batal demi hukum. Syarat nomor 6 disebut syarat Material Relatif karena mengandung larangan melakukan perkawinan bagi orang yang tertentu saja.
SYARAT FORMIL.
Syarat Formil adalah syarat yang dihubungkan dengan cara-cara atau formalitas–formalitas melangsungkan perkawinan, yaitu :
Pemberitahuan oleh kedua belah pihak kepada Kantor Catatan Sipil (pasal 50 KUH.Perdata).
Pengumuman kawin(huwelijks afkondiging) dikantor Catatan Sipil (pasal 28 KUH.Perdata).
Dalam hal kedua belah pihak calon suami istri tidak bersiam di daerah yang sama maka pengumuman dilakukan di Kantor Catatan Sipil tempat pihak-pihak calon suami istri tersebut masing-masing (pasal 53 KUH.Perdata).
Perkawinan dilangsungkan setelah sepuluh hari pengumuman kawin tersebut (pasal 75 KUH.Perdata)
Jika pengumuman kawin (Huwelijks afkondiging) telah lewat satu tahun, sedang perkawinan belum juga dilangsungkan,maka perkawinan itu menjadi daluarasa dan tidak boleh dilangsungkan kecuali setelah diadakan pemberitahuan dan pengumuman baru (pasal 57 KUH.perdata).
3. Pencegahan Perkawinan.
Pencegahan perkawinan adalah suatu usaha untuk menghindari adanya perkawinan yang bertentangan dengan ketentuan Undang-undang. Pencegahan (stuiting) ini harus diajukan kepada Pengadilan Negeri dalam daerah hukum suatu catatan sipil dan diputus oleh Pengadilan tersebut (pasal 66 KUH.Perdata).

Yang berhak mengadakan pencegahan Perkawinan menurut ketentuan Undang-Undang adalah :
Suami atau Istri atau anak–anak dari salah seorang yang hendak kawin kalau antara mereka masih terikat dalam suatu perkawinan (pasal 60 KUH. Perdata).
Ayah atau ibu atau wali dalam hal yang ditentukan oleh pasal 61 KUH Perdata yaitum:
1. Apabila anaknya masih meenderjaring (belum dewasa) dan tidak mendapat izin dari orang tuanya.
2. Apabila anaknya sudah meenderjaring (dewasa) tapi belum berusia 30 tahun dan tidak minta izin dari orang tuanya.
3. Apabila salah satu pihak berada dibawah pengampuan (curatele).
4. Apabila,kedua belah pihak yang hendak kawin tidak memenuhi syarat yang ditentukan oleh undang-undang(syarat Material dan syarat Formil)
5. Apabila tidak diadakan pengumuman perkawinan (huwelijks afkondiging).
6. Apabila salah satu pihak berada dibawah pengampuan karena boros.
Jika orang tua tidak ada maka kakek, nenek dan wali/wali pengawas berhak mengadakan stuiting dengan alasan nomor 3,4,5,6 diatas (pasal 62 KUH Perdata).
Jika kakek,nenek tidak ada maka saudara,paman dan bibi/wali pengawas, pengampu (curator) dapat mengadakan stuiting dengan alasan tidak diberi izin dan alasan-alasan nomor 3,4,5,6 diatas (pasal 63 KUH Perdata).
Bekas suami calon pengantin wanita,jika perkawinan itu dilangsungkan belum melewati 300 hari sejak putus perkawinan mereka pasal 64 KUH Perdata).
Jaksa wajib mengadakan stuiting bila dilanggar pasal 27 dan 34 KUH.Perdata (tentang azas monogami dan pelaksanaan perkawinan bagi perempuan yang putus perkawinan sebelum melewati 300 hari sejak perceraiannya.(pasal 65 KUH Perdata).
Jika ada stuiting tapi perkawinan itu tetap juga dilangsungkan maka perkawinan itu dapat dibatalkan (vernietigbaar) oleh Pengadilan Negeri.
4. Pelaksanaan Perkawinan.
perkawinan dapat dilangsungkan setelah lewat sepuluh hari sesudah pengumuman (afkondiging) di kantor Catatan Sipil, kecuali ada dispensasi (izin) dari kepala Daerah (pasal 75 KUH.Perdata).
Menurut pasal 71 KUH.Perdata sebelum perkawinan dilangsungkan, pegawai catatan sipil meminta surat-surat yang merupakan syarat untuk melangsungkan perkawinan.
Akta kelahiran kedua pihak.
Akta persetujuan pihak ketiga yang diperlukan untuk perkawinan itu (izin orang tua,wali/wali pengawas atau pengampunya).
untuk perkawinan kedua kalinya atau berikutnya diperlukan akta :
à akta kematian suami atau istri yang dahulu
à akta perceraian.
à izin Hakim dalam hal ketidakhadiran suami atau istri.
akta kematian mereka yang harus memberi izin perkawinan antara kedua belah pihak tersebut.
bukti perkawinan telah diumumkan, tanpa ada stuiting atau bukti stuiting telah gugur.
dispensasi dari presiden untukmelangsungkan perkawinan dengan seorang wakil yang telah diberi kuasa untuk itu dengan akta otentik (perkawinan yang diwakilkan/huwelijk met de handschoen).(pasal 79 KUH.Perdata).
izin dari komandan militer.
Pasal 76 KUH.Perdata mengatakan perkawinan itu harus dilangsungkan :
à dimuka umum.
à Digedung tempat akta catatan sipil itu dibuat
à Dimuka pegawai catatan sipil.
à Dengan disaksikan oleh dua orang saksi baik kelurga maupun bukan keluarga yang sudah meerderjarig dan bertempat tinggal di Indonesia.
à Setelah selesai pelaksanaan perkawinan dimuka pegawai catatan sipil baru boleh diadakan menurut upacara agama (pasal 81 KUH.Perdata)

Tag: , , , , , ,

Tinggalkan komentar